Home | Parwo-01 | Parwo-02 | Parwo-03 | Parwo-04 | Parwo-05 | Parwo-06 | Parwo-07 | Parwo-08 | Parwo-09 | Parwo-10 | Parwo-11 | Parwo-12 | Parwo-13 |

25.11.00

II. Parwo Jantoko

Episode 10
Janda di Sarang Penyamun
________________________________________


Begitu masuk Dewi Sinto langsung diinterogasi Dityo Kolo Marico.
“ eiiiit .... ini ada cewek nan cantik jelita, ... siapa kau, dari mana asalmu, ngapain kesini ? ... mana ktp, sim, paspor, visa, izin kerja, daftar riwayat hidup, ppn, pajak, ... dst ... dst “
“... Tumbaaaaas ... Aku kesini mo beli bakpya pathook ... Kamu siapa ?“
“ eiiiiit ... disini tidak ada bakpya pathook, adanya minyak tanah, mau ? Saya Dityo Kolo Marico van der Alengko Dirojo. Siapa kau ?
“ Wo, kamu Kolo Wahing, to ?
“ eiiiit ..., wahing ?
“ Lha, Mrico itu rak bikin wahing, to ? Aku Dewi Woro Sinto binti Janoko von Manthili “
“ eiiiit ..., putri Prabu Janoko, to ? .... monggo ... monggo ...
“ Kamu tahu keadaan Manthili ? “
“ eiiiit ... tahu. Intelejen saya melaporkan keadaan Manthili sedang krisis ekonomi !
“ sik, siapa bossmu .... ?
“ eiiiit ..., Sarpokenoko menko polkam itu boss dan istri saya. Rajanya ratu gung binatoro yang menguasai hutan ini Prabu Rahwono.”
“ Apakah kita bisa berbicara dengannya ?
“eiiiit ..., kebetulan, dua-tiga hari lagi mereka akan datang. Silahkan tinggal di dalem Kolo Marican, gusti Dewi“
“ Bagus, aku mau buat political deal dengan sang Prabu ... “

Mengetahui keadaan Manthili sedang susah darah negarawan Sinto terusik. Ia tahu bahwa Alengko adalah negara facist adidaya yang sangat kaya raya.

Beberapa hari kemudian datanglah penguasa rimba Jantoko, maharaja Prabu Rahwono dengan diiringi oleh adiknya, Dewi Sarpokenoko. Prabu Rahwono tubuhnya tinggi besar dengan badan gempal penuh otot pating pethekol mirip Ade Rai, Arnold Schwarzneger, atau the Rock. Lehernya leher beton dengan rambut gimbal terurai krembyah2. Prabu Dosomuko adalah raja pemarah – bludregan. Ia tidak bisa dibilang tampan. Rahangnya pesegi kukuh yang justru memancarkan citra jantan. Matanya mudah melotot. Jika bicara seperti mem-bentak2 dan selalu diikuti dengan sumpah serapah. Jika berjalan selalu menghentak hentak bumi sampai serasa ada gajah lewat. Raja gung binatoro ini sangat pd, nyaris megalomania.

Sarpokenoko adalah wanita militer. Tubuhnya juga tinggi besar. Dandanannya menor dan suaminya banyak. Poliandri umum diwaktu itu. Di Mahabharata Dewi Drupadi atau Dewi Pancali bersuamikan lima orang. Kol. Marico adalah salah satu suami Sarpokenoko.

Setelah dikenalkan dan basa basi, Sinto mulai bicara
“ Prabu Rahwono, izinkan saya bicara ‘
“ Mau apa kau ! “ Dengus bernada bariton keluar dari rahang kukuh Rahwono.
“ Negara saya miskin, kanjeng Prabu. Saya hendak minta bantuan. Sebagai imbalan, negara kami akan menyerahkan pangkalan militer “
“ Mengapa harus membantumu, hah “ Sang raja ganas bereaksi “ Tak gempur negaramu jebol ! “ Rahwono menggeram menunjukkan jati dirinya sebagai makluk ganas. Sinto yang selama ini dirundung nestapa mendapat kesempatan untuk melupakan pedih hatinya. Ia tertantang menjinakkan si buas.
“ Kanjeng Prabu tidak perlu menggempur negara saya yang miskin dan lemah. Mengapa tidak menggunakan modus operandi yang lain ? “ Sinto tersenyum manis. Ia menyukai peranan barunya. Kemanapun ia pergi selalu dilelo lelo seperti golek emas. Tidak ada seorangpun mengijinkannya bekerja keras. Sekarang ia harus meyakinkan si Penyamun. Ia menyukai peranan barunya. Semangatnya ma-kantar2. Disisi lain sang maharaja ter-heran2 ada makluk lemah dan rapuh ngèyèl. Ia selalu berhadapan dengan raja2 dan satria2 perkasa dan berujung dengan lutahing ludiro (banjir darah). Sekarang berhadapan dengan wanita. Raja besar yang kuper dengan wanita jadi kikuk. “ Modus operandi apa ? “

“ Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasoraké, dan sakti tanpo aji “ Sinto menyembah takjim. “ Opo kuwi, ndhuk ? “ Rahwono mulai tertarik. Ndhuk ! Sinto nyaris berteriak kegirangan, nada ndhuk-nya nada kekeluargaan. Si Penyamun sudah tidak lagi melihat dirinya sebagai mangsa ! Diusapnya keringat dingin di keningnya.

Episode 11
Si Molek dan si Buas
Beauty & the Beast

________________________________________

“ Selama ini baginda selalu mengerahkan wadyo bolo pirang2 bergodo, menang dengan mengalahkan dan selalu ngagem aji2 “ Sinto mengerahkan kasudibyan salesmanshipnya. “ Sekarang kita coba menaklukkan tanpa wadyo bolo, tanpa aji2, dan tanpa menyakiti warga sana, bisa tidak “ Sikap Sinto mengusik “ Selama ini gusti Prabu selalu memakai modus operandi lutahing ludiro, sekarang kita coba modus baru, kanjeng Prabu “ Wajah sangar Rahwono meredup, ia menyimak kata2 Sinto dan Sinto mulai berkicau. Saat itu Sinto merasa bebas, lepas dari suami yang tidak mencintainya. Ia menjadi dirinya.

“ Kanjeng Prabu sugih kendel bondho wani. Itu memang perlu tetapi tidak cukup “
“ Opo manèh ? “
“ Sugih pétung bondho kaweruh. Kaweruh itu digembol ora metosol, diguwak ora gemrosak “
“ Wuik, opo kuwi, ndhuk “
“ ... ihik, hik, hiiii hikk ... saya juga tidak tahu ... cuma mbagusi kok ... hik hik ...“ Sinto terkikik sambil menutupi mulutnya. Wajahnya tampak naif dan manis. Seperti bocah ketahuan bohongnya. Sang Raja ter-bahak2 dikerjain gendhuk itu.
Kemudian pembicaraan bergeser, Sinto mulai bicara tentang dunia kecilnya dihutan kemarin. Tentang kembang Sepatu, Menur & Kenongo, burung Bekisar, bahkan tok-érok dengan matanya yang seperti kelereng. Dengan mata berbinar diceritakannya sayap2 bening bandhempo yang seperti kain sutra. Sampai larut malam.

Pada hari yang lain Sinto bicara tentang Jongko Joyoboyo, tentang serat Purbojati, tentang ngelmu bejo Ki Ageng Suryo Mentaram. Lalu ke Timur Tengah. Dilantunkannya aporisma Kanjeng Resi Kahlil Gibran. Tentang butir2 pasir dan buih2 dilaut, tentang hampa, sunyi dan senyap. Kadang digelorakannya puisi dari entah berantah.
Selama ini dunia Rahwono adalah dunia satu dimensi. Selalu tentang darah, darah, dan darah. Malang melintang dari satu medan laga ke medan tempur lainnya, Dalam keriuhan ringkik kuda, deru campur debu, lolong kematian, sumpah serapah. Tentang bagaimana meretakkan rahang lawan. Tentang bagaimana menebang leher musuh. Tentang bagaimana memporakporandakan pertahanan lawan. Dunia lutahing ludiro ... bau anyir mengikuti kemana Raja beringas ini pergi. Kini Sang Penyamun teretegun melihat dunia lain. Dunia yang tak pernah dijenguknya. Tentang Semprang yang ekornya njeprik, tentang anak2 bebek yang namanya minthi.
Kemudian tentang Ronggowarsitan; tentang Kolotidho, Kolobendu, dan Kolosubo. Tentang Unining Uninang Uninong Syech Siti Jenar. Sang Maharaja tergugah; ia melihat dimensi lain selain genangan darah merah. Ia mulai menyukai kicauan si burung Pipit kecil mungil, si gendhuk Sinto. Gendhuk mungil itu menghadirkan pelangi dalam hidupnya.

Disisi lain, rasa bombong merayap dihati Sinto. Berbulan di alas Dandoko serasa tidak punya arti. Di Jantoko ia melakukan peranannya nyaris sempurna. Negotiator par excellence ! The beast nyaris dijinakkannya, ia tidak lagi buas. Harga dirinya membubung naik. Mendung yang menyaput wajahnya tersibak sampai sumeblak. Kecantikannya kembali mencorong seperti bulan moblong2. Semua orang terpesona oleh kecantikannya tetapi si buas ini tidak. Ia sudah tuwuk dengan gadis cantik. Baginya, mencari gadis ayu semudah memijit buah Ranti. Ia lebih menyukai kicauannya dan Sinto sangat berbahagia dengan sorot mata menyanjung dari si buas. Hati Sinto ber-bunga2. Ia merasa bebas, seperti burung terbang diangkasa melayang-layang. Sinto menjadi sedikit liar.

Malam itu bulan purnama. Sinto & Rahwono bercengkerama berdua dipinggir sebuah sungai. Entah apa yang sedang terjadi, mungkin Bathoro Eros sedang lewat disitu. Atau Sinto ikut2an meminum anggur Sang Penyamun yang membuatnya sedikit pusing. Suasana begitu indah dan Sinto tergerak untuk mengramasi rambut Sang Penyamun yang gimbal dan krembyah2. Sang maharaja manut, ia telentang dipinggiran pasir kali yang basah. Dibiarkannya gendhuk mungil itu membasahi rambutnya. Sambil berdendang, Sinto mengeramasi rambut Sang prabu. Kemudian dibasuhnya muka Sang Raja sambil tiap kali membetulkan kemben yang lobok. Kemben pinjaman mbakyu Sarpokenoko kedodoran. Selalu mlotrak mlotrok.


Episode 12
Julang Pilar Legam
________________________________________


Lama2 Sinto gregeten. Kemben akirnya ditanggalkannya dan ia bertelanjang dada. Sepasang cengkir gading yang indah bergelantungan dengan bebasnya. Sinto membasuh leher Rahwono, kemudian kebawah, mengusap badan Sang prabu yang penuh bulu. Badannya bergoyang dan terkadang sepasang cengkir gading itu berayun-ayun menyapu badan Rahwono. Ketika membasuh lengan, telapak tangan Sang Raja dilekatkannya ke dadanya.

Ketika sampai kepinggang Sang Raja, tanpa wigah wigih disingkapnya kain Rahwono. Janda muda itu terkesiap nyaris terpekik. Ada pilar menjulang tegak. Seperti batu gilang hitam legam. Besar. Untuk sesaat Sinto terpana dan terasa darahnya berdesir. Diambilnya segayung air dan disiramnya pilar hitam itu. Kemudian diusapnya pilar itu. Jari2 lentiknya tampak mungil menyusuri pilar yang menjulang seolah menuding indahnya Sang Ratri. Lalu dikecupnya mahkota pilar itu. Seolah mengecup sekuntum mawar. Bukan mawar merah atau putih, mawar hitam. Mulutnya tampak kecil, apalagi ketika pilar itu masuk kemulutnya. Beberapa saat pilar itu diantara kemungilan jari2 lentik dan mulutnya. Lalu didekapnya pilar itu kedadanya. Pilar itu terasa hangat. Dan putik sepasang cengkir gading itu merona ke-merah2an. Tiba2 Sinto merasa ada yang basah mbrebes mili dari dirinya, dan hangat. Sembari berdiri dibukanya kain yang menutup tubuhnya. Ia kini berdiri tanpa sehelai benangpun dan rembulan membuatnya seperti bersinar gilang gemilang. Rahwono memandangi tubuh mungil indah itu. Dan pilar legam itu terangguk-angguk, seolah memengagumi keindahan tubuh molek itu.

Sinto merebahkan badannya kepaha Rahwono. Seperti cecak ia merayap ke tubuh Dosomuko yang terlentang. Pelan2 keatas sambil menciumi seluruh tubuh Sang Penguasa rimba Jantoko. Cengkir gadingnya menyusuri tubuh Rahwono yang penuh bulu. Dua2nya tergetar. Terasa bagai ada dua butir kerikil diujung cengkir gadingnya menyentuh tubuh Sang Raja. Akirnya Sinto sampai keatas, nafaspun menderu. Dikecupnya pipi Sang Penyamun dan kemudian didapatnya mulut Sang Raja. Desah nafas keduanya makin menderu. Tangannya me-raba2 mencari-cari pilar itu. Antara gairah dan sedikit takut karena pilar yang kelewat besar Sinto ... sensor ... sensor .... sensor ....

Sekian lama ia menikah, Sinto tidak pernah merasakan dirinya begitu nikmat. Suksmanya serasa terbang melayang ke awan. Selama ini ia merasakan suami yang setengah hati, yang stereo. Dengan pilar yang juga setengah hidup. Seperti plembungan kurang angin. Kini ia merasakan tenaga sebatang pilar legam. Tubuh Sinto meregang, bergetar dan denyut2 itu terasa nikmat. Ahhhhh .... , akirnya Sinto terkulai meringkuk didada Rahwono dan akirnya tertidur pulas. Sinto bermimpi seolah berjalan diantara awan diiringi ribuan tok-érok kesayangannya.

Baru kali ini Rahwono merasakan seorang perempuan begitu bergairah kepadanya. Selama ini yang dihadapinya adalah perempuan2 yang ketakutan. Yang terpaksa melayaninya. Ah, Pipit kecil, sukakah kamu denganku, Raja penyamun ? Ia membatin. Dilihatnya Sinto yang meringkuk tertidur dengan senyum tersungging. Pipit kecil yang malang, mengapa kau blusukan dibelantara ini ? Rahwono mengusap tubuh mungil itu dan berkata dalam hati. Apa yang kau inginkan, ndhuk ? Katakan, ndhuk. Kubuatkan Taman Asoka dari taman kadewatan untukmu. Yg ada tok-éroknya, ya ndhuk. Pelan2 dibopongnya burung Pipit mungil itu pulang.

Sebuah pemandangan yang kontras. Si molek dan Sang Penyamun. Yang satu meninggalkan jejak2 berdarah, satunya tak pernah bersua dengan kekerasan. Yang satu belia, baru belasan tahun. Satunya sudah bangkotan, bahkan lebih tua dari ayahnya. Yang satu menebar aurora sangar, satunya membiaskan keindahan. Dan ...., putik2 cintapun bersemi diantara kedua insan itu.

Sinto mendhem jero, wewadi penyimpangan sex Romo & Lesmono tidak dibuka kepada Rahwono. Ia hanya mengatakan tidak berbahagia dengan Romo dan minta pegat. Sinto minta bantuan Rahwono untuk menyampaikan talak-3. Permintaan2 Sinto dipenuhi. Yang pertama Kolo Marico diutus untuk menyampaikan kehendak Sinto untuk bercerai. Menyampaikan talak tiga. Kedua Sinto minta bantuan mbakyu Sarpokenoko untuk menemukan Lesmono dan mengembalikannya kepada kakaknya. Sinto dan Prabu Rahwono akan ke Manthili melaksanakan usulan Sinto tentang pangkalan militer dan bantuan keuangan.

Episode-13
Sarpokenoko Grumpung
________________________________________


Di Alas Dhandhoko Romo sedang kalang kabut, istrinya hilang. Pondok morat marit dan ada banyak sekali bekas2 lutung, kera, bedhès dan semacamnya. Romo tidak tahu bahwa nawolo yang ditinggalkan Sinto telah diambil lutung2 mbeler. Mungkin dimakan lutung2 trondholo itu atau binatang lain. Beberapa hari ia menjelajahi seluruh hutan mencari cari istrinya tanpa hasil. Romo me-nebak2, apakah Sinto diculik emban Mantoro ? Tidak, tidak ada jejak2 kaki orang disitu. Atau purik ? Romo berharap begitu, mungkin Sinto tidak tahan hidup miskin di hutan dan minggat pulang.

Syukurlah jika begitu, Romo iklas dan bertekad akan menjemputnya jika ia sudah mukti wibowo lagi. Tetapi ia kuatir istrinya tersesat. Terlintas dalam benak Romo, bagaimana jika diculik Gandarwo2, Wewe2, dan Banaspati bala tentara Bhatari Durgo alias Gèdhèng Permoni von Kasetran Gondomayit ? Wé, lhadalah ... ! Romo mulai panik. Dengan segera ia matak aji, sedheku bertapa untuk kontak dengan Setro Gondomayit (karang semerbak bau mayat), papan segala makluk halus.

Dityo Kolo Marico misuh2 doncak dancuk. Masa Kolonel telik sandi disuruh menceraikan orang. Talak tiga, lagi. Itu urusan KUA, bukan urusan intelejen ! Byangané ! Namun, ia militer, harus patuh menjalankan perintah atasan, apapun perintah itu. Tradisi jurit, ia tidak boleh pulang sebelum tugas selesai. Dengan mudah Kolonel itu menemukan pondok Romo. Disana dilihatnya seorang pemuda tampan sedang samadi. Raut mukanya keruh dan siap meledak karena panik. Marico mbatin : wah, harus hati2. Kalau datang2 mak jedhul harus ngasih tahu bininya kasih talak 3, malah gué yang dijadikan sasaran. Ini pemuda digdoyo, ntar palé gué benthèt. Setelah ber-pikir2 Kolo Marico memutuskan merubah dirinya jadi kijang Kencono yang jinak agar bisa menunggui Romo dari dekat tanpa mengundang kecurigaan. Nanti kalau keadaan sudah aman, barulah akan disampaikan berita buruk itu. Tetapi Kolonel itu lupa sesudah malih rupa, tidak memakai parfum !

Romo yang sedang semadi mengendus bau Dénowo. Ada Kijang Kencono didepan matanya tetapi baunya kok Denowo ? Romo curiga, jangan2 kewan ini jelmaan prajurit Setro Gondomayit yang menculik Sinto. Dengan segera dikejarnya Kijang itu. Kolo Marico kaget dan lari nggenjring. Sampai ter-engah2 Romo tidak berhasil menangkap Kijang itu. Lama kelamaan ia menjadi gemas, dipanahnya kewan mencurigakan itu. Kena dan Dityo Kolo Marico meraung kesakitan. Raungan kematiannya begitu keras membahana sampai terdengar diseantero rimba.

Disisi lain dari hutan Sarpokenoko berhasil menemukan Lesmono sedang terpekur semedi memejamkan mata. Dengan bergegas paha Lesmono akan ditepuknya. Namun, belum sempat niatnya tercapai terdengar raungan kematian suaminya. Saking kagetnya, Sarpokenoko menepuk paha terlalu keras. Lesmono terbangun dari semedinya karena mendengar raungan Kolo Marico. Belum pulih dari kagetnya mendengar raungan, tiba2 didepannya ia melihat raseksi dan memukul pahanya dengan keras. Secara reflex Lesmono bereaksi menampar si raseksi. Sarpokenoko yang ditampar mukanya spontan membalas – plok ! Tanpa sempat berbicara keduanya tiba2 terlibat dalam pertarungan. Sarpokenoko konsentrasinya buyar kuwatir dengan keadaan suaminya. Karenanya dengan mudah Lesmono berhasil menjiwit hidung Sarpokenoko dan diplintirnya sampai grumpung. Karena mengkhawatirkan nasib Kolo Marico, Sarpokenoko gelisah dan melarikan diri sambil me-raung2 kesakitan. Ditengah jalan ia baru menyadari bahwa hidungnya grumpung. Sebagai wanita, ia lebih kawatir dengan hidungnya dari pada memikirkan suami dan tugasnya. Ia berbalik arah tidak menuju ke pondok Romo tetapi kembali ke DOM Jantoko supaya bisa mengobati hidung grumpungnya.

+ sik, sik, sik, ki Dhalang
- opo Jo ?
+ Lesmono itu laki2, kok njiwit hidung ?
- Artiné opo ?
+ Yang jiwitan itu hanya perempuan, to ?
- Lho, kok pinter kowé Jo ...


Episode-14
Dada yang Membara
________________________________________

Selendang Sinto yang seharusnya diberikan kepada Lesmono sebagai bukti bahwa ia utusan Sinto ketinggalan. Lesmono menemukan selendang itu jadi bingung. Pertama terdengar raungan kematian, tahu2 ada Rakseksi menyerang, dan sekarang ada slendang Sinto disini. Ada apa ? Jangan2 ada masalah di pondok Romo ? Dengan bergegas Lesmono menuju pondok Romo.

Lesmono akhirnya bertemu dengan Romo yang sedang kebingungan memandangi bangkai Kijang yang telah malih kembali keasalnya menjadi Diyu. Ke-dua2nya me-nebak2. Yang dicurigai pertama adalah emban Mantoro. Tetapi kemungkinan ini ditampiknya karena mereka tahu emban Mantoro tidak punya andhahan Dénowo. Mayat Yakso ini memakai ageman jurit tetapi tanpa identitas. Kolo Marico adalah tentara intelejen, yang selalu menyembunyikan identitasnya. Mereka menganalisa sampai pusing tetapi sama sekali tidak mendapatkan petunjuk. Sinto hilang lantas ada raksasa malih rupa jadi kijang dan mati sebagai tentara tanpa identitas. Kemudian ada raseksi menyerang Lesmono sambil membawa selendang Sinto. Kesimpulannya hanya satu : Sinto diculik ! Yang nyulik pasti suatu organisasi, kemungkinan dari negara lain. Siapa dan dari Negara mana ? Apa motivasinya ? Sama sekali tidak terlintas dibenak kedua satrio itu bahwa Sinto minggat minta pegat. Dengan adanya bukti2 ditangan, kemungkinan Sinto purikpun mereka tepis jauh2.

Tiba2 kakak beradik itu menyadari betapa mereka saling merindukan. Dengan penuh perasaan Romo membelai adik kinasih. Dikecupnya kening Lesmono, didekapnya kekasihnya seolah tak akan dilepaskannya. Seumur hidupnya. Dikecupnya bibir Lesmono dan nafaspun makin menderu ..... sensor ... sensor ... sensor ... Lesmono tersenyum dan samar2 dekik dipipinya muncul. Ia kemudian merebahkan diri ..... sensor ... sensor ... sensor ... Hari2 kemudian menjadi terasa manis bagi sepasang kekasih ini. Tiada lagi wajah mbesengut Sinto. Mereka muncul dalam jati diri mereka yang paling sejati. Tanpa perlu bersikap lamis.

Dihantam petaka beruntun, terjungkal sebagai calon Raja, putus kasih dengan Lesmono, kehilangan istri, mendengar berita bahwa ayahanda tercinta sudah meninggal membuat Romo makin dewasa. Romo kini bukanlah Romo yang dulu, yang hura2 dan poya2 sodom sana sodom sini. Romo sekarang adalah pria matang.

Romo marah kehilangan istrinya. Bukan karena sangat mencintai Sinto tetapi harga dirinya sebagai pria terinjak. Siapa berani mencuri Sinto dari sisinya ? Kemarahannya juga makin menguat terhadap emban Mantoro yang mendepaknya dari singgasana. Seandainya ia tidak terpental dari singgasananya ia tidak harus menanggung malu kehilangan istri. Adrenaline pemuda bermental baja ini mulai mendidih. Ia bersumpah akan mencari istrinya sampai keujung dunia. Siapapun pencurinya ia akan berhadapan dengannya. Romo menengadakan mukanya dan telunjuknya menuding langit. Ia berteriak lantang, ... emban Mantoro ! Tunggulah titi wancimu ! Kemudian ia tengadah seolah menantang langit ... yang menculik Sinto, tunggulah kematianmu !

Bumi gonjang ganjing, langit kethap2, ... blah , ... blah, .... blah, ... Ong ... ing ... oooooooooong ...
Romo dan Lesmono berjalan dan berjalan mengembara sambil memadu kasih. Mereka telah meninggalkan alas Dandoko dan berjalan menikmati indahnya hamparan didepan matanya. Dibalik penampilan pemuda bersahaja ini, bara didada makin membara. Sebenarnya ia tidak beda dengan Rahwono. Ke-dua2nya Predator, punya naluri untuk bertarung. Dua2nya sang penakluk. Bedanya, Rahwono Gladiator nglegeno – tiap orang bisa dengan mudah mengenali bahwa ia gladiator hanya dengan melihat fisiknya yang mirip penyamun. Romo adalah Gladiator elegan. Tampan, bersahaja, dan santun.

+ Ki, .... bukankah supoto Sharwono sudah selesai dengan wafatnya Prabu Dosoroto
- Apa maksudmu ?
+ Mestinya penyimpangan sexual kedua satrio itu sudah pupus, bukan ?
- Ya ?
+ Sesudah supoto, Lesmono tetap wadhat dan Romo sebelum menemukan Sinto tidak juga menikah. Sesudah ketemu, rujuk, lantas cerai, Romo tetap tidak menikah lagi. Artinya homosexualitasnya tidak sembuh, Ki
- Terus ?
+ Artinya, kedua satrio itu begitu bukan karena supoto ! Mereka memang dari sononya begitu. Romo Lesmono itu kisah cinta abadi, Ki.
- Kok pinter kowe, Jo
+ Masa Sinto bersama Romo pendek sekali. Katakan 3 tahun sebelum ditundung. Sesudah itu pisah 15 tahun lamanya. Rujuk hanya sebentar, mungkin 5 tahun. Jadi total hanya 8 tahun. Pertanyaan, dimana keagungan kisah cinta Romo-Sinto ?
- Embuh

Episode 15
Pitam di Manthili
________________________________________

Di dalem Kolomarican Sarpokenoko meradang. Diperintahkannya seluruh jajaran DOM Jantoko untuk mencari kedua satria dan mencari jenazah Komandan Kolo Marico. Bahkan dikerahkan juga sekutunya, pasukan Setro Gondo Mayit. Dipimpin oleh Dityo Kolo Gondobahu yang mengerahkan segala lelembut, Gandarwo, Wéwé, Wedhon, Lampor, Banaspati, Kuntilanak, Sundel Bolong, juga Sundel Kramtung. Juga si manis jembatan Ancol, Drakula, Frankestein, dll. Seluruh alas Dhandhoko disisir; jika ketemu orang diinterogasi, disiksa, ditempilingi supaya menunjukkan kedua Satrio itu. Sambil me-lolong2 kesakitan, Sarpokenoko meninggalkan Jantoko menyusul abangnya yang sudah di Manthili bersama Sinto.

Sepanjang jalan Sinto-Rahwono bak pengantin baru. Sinto makin merasa berbahagia, ia tidak saja bisa melepaskan diri dari hari2 menyakitkan di Dandoko tetapi ia menemukan seseorang yang diimpikan. Berkuasa, kaya raya, gagah perkasa dan mencintainya. Dan ngejreng.

Prabu Janoko nyaris pingsan ketika mengetahui putrinya datang bersama wajah sangar yang sudah dikenalnya : Raja penyamun. Anehnya, wajah Sinto tampak semringah dan Sang Rahwono berjalan gontai, seperti Singa kekenyangan. Betapa lega hati Prabu Janoko ketika diketahuinya bahwa Rahwono tidak bermaksud jahat. Setelah melepas rindu dengan orang tuanya, Sinto munjuk atur

“ Kanjeng romo, saya telah pegatan dengan Radèn Romowijoyo “ Sinto mendhem jero. Wewadi kehidupan bisex Romo disimpannya rapat2. “ Talak tiga sedang disampaikan Kolonel Kolo Marico. Diperjalanan saya ketemu dengan kanjeng Prabu Rahwono yang bersedia menjadi IMF menggantikan Ayudyo. Tadi sempat mampir ke kedutaan Ayudyo. Kami ditolak masuk tetapi Prabu Rahwono memaksa, prajurit itu dibanting sampai mecèdhèl. Duta besar dijewer sampai kupingnya kawir2. “
“ Wah, nanti kalau Ayudyo menyerang Manthili, bagaimana ? Parabu Janoko kuatir
“ Pak Dubes sudah di-wanti2 utang Manthili supaya ditagih ke Alengko Dirojo “
“ Wah, wah, wah ... “ Prabu Janoko geleng2 kepala. Mana berani ?

Belum lepas dari kagetnya, Prabu Janoko dikejutkan raungan Sarpokenoko yang datang dan me-lolong2 hidungnya grumpung. “ Duh, duh aduh ... Kakang Prabu hidung saya grumpung ... “
“ Siapa berani menyakitumu, hah “ Rahwono naik pitam
“ ... dipithes Lesmono ... dan Kolo Marico dibunuh Romo ...“
“ Kurang ajar ! “ Raung sang Raja dan ia bergegas hendak melabrak tetapi Prabu Janoko dengan sigap menahan Rahwono.
“ Nanti dulu, sarèh ... sarèh ... Kakang Prabu, biarkan para prajurit mencarinya dulu, lantas kita tanyai mereka. Bukankah sudah diperintahkan demikian ? “ Janoko memandang Sarpokenoko.
“ Betul ... “
“ Sebagai Raja Gung Binatoro, tak layak Kakang Prabu Rahwono mengurusi kedua orang itu. Bukankah mereka derajadnya sudah bukan lagi Ningrat ? Mereka tak lebih dari kéré yang klèlèran dirimba raya. Jangan sampai kewibawaan jatuh, Kakang Prabu. Mereka bukan level Kakang Prabu. “ Mati2an Prabu Janoko mencoba menyelamatkan anak2 swargi (almarhum) Prabu Dhosoroto, temannya. Jika sampai Rahwono melabrak, kedua satria itu pasti menemuai ajalnya.

Dilantai, Sinto ndhéprok tertunduk. Hatinya nglangut dan tiba2 ia merasa sangat bersalah telah meninggalkan dharmanya sebagai sisihan. Ke-dua satrio itu tak ada sedikitpun punya niat buruk kepadanya. Mereka memenuhi kewajiban2nya dengan baik. Mungkin Romo membunuh Kolo Marico karena kaget dan karena dengan Lesmono mereka punya hubungan tali batin yang seperti telepati, Sarpokenokopun kena getahnya. Membayangkan kedua satrio itu di-uber2 tentara DOM Jantoko dan Kasetran Gondo Mayit, Sinto menjadi nelongso. Sambil menangis sesenggrukan dipeluknya kaki Prabu Rahwono yang sedang naik pitam.

“ Kanjeng Prabu, saya mohon jangan menempuh jalan kekerasan. Jika memang kangmas Romo tidak iklas melepaskan saya, ia pasti kembali kesini. Jika kesini lebih baik kita pegatan baik2. Kita bisa pakai Adnan Buyung atau Mulya Lubis untuk menghadapi gugatan mereka. Tidak ada masalah pembagian harta dan anak karena kami tidak punya apa2 “ Sinto menyeka air matanya. Ia sedih, pernikahannya berujung dengan kisruh. Melihat keadaan Sinto yang memelas kemarahan Rahwono padam.

Episode-16
Sinto Ngèngèr.
________________________________________

Sedang sibuk begitu, paseban digegerkan lagi dengan datangnya Kyai Banaspati, dengan rambutnya yang menyala mubal2. Langsung menghadap ke prabu Rahwono“ Gusti, kedua orang itu sudah tidak ada lagi di Dandoko. Apakah kita akan mencari sampai diluar Dandoko ? “

“ Tidak, bubarkan pasukan. Misi telah selesai. “ Dengan tegas Rahwono bertitah.
“ Sendiko, magito gito lumaksono .... “ Dan Banaspatipun menghilang dari pandangan.
Untuk sesaat suasana hening. Tiba2 Sinto ingat mbakyu Sarpokenoko. Segera ditubruknya kaki Sarpokenoko sembari sesenggrukan meminta maaf. Sarpokenoko meradang ;
“ Nih, lihat hidungku grumpung, piyé iki, hah ! “
“ Jangan kuatir mBakyu “ Janoko menukas “ Di RI banyak ahli bedah plastik, kita panggil mereka datang “

+ Sik, Ki Dalang
- Opo ?
+ Bukankah Sarpokenoko itu tidak tedhas tapak paluning pandhé sisaning gurindo ?
- Terus ?
+ Lha, alat2 kedokteran putung semua, dong.
- Terus ?
+ Dipermak pakai Ketok Mejig Blitar saja
- Yoh ...
+ Di kenthèng, Ki
- Hè’ èh.

Lebih dari sebulan lamanya mereka menunggu tetapi Romo & Lesmono tidak menampakkan batang hidungnya. Manthili tidak mengetahui bahwa kedua satria itu mengira Sinto diculik dan mereka berjalan kearah yang salah, makin menjauhi Manthili. Semenjak kedatangan Rahwono, keadaan ekonomi Manthili membaik. Proyek2 yang ter-katung2 berjalan kembali. Berbeda dengan IMF RI yang rewel, Rahwono yang sedang wuyung lebih nyah nyoh. Proposal apapun yang diajukan selalu distempel dengan ‘Yoh”. Sinto sangat bangga telah berbuat bagi negaranya. Kini Sinto sudah gemebyar dengan mas picis rojobrono dan sutro dewonggo. Bukan seperti ketika di Dandoko, miskin.
Sinto adalah pewaris tunggal Manthili dan pernikahannya bermuatan politis.

Sebenarnya homosexualitas Romo hanyalah dalih bagi Sinto untuk mengganti suami. Ia adalah wanita yang sangat sadar akan kekuasaan. Romo adalah suatu ketidak pastian, sedangkan Rahwono adalah sebuah jaminan. Manthili akan titi toto tentrem karto raharjo dalam perlindungan negara adidaya Alengko Dirojo. Seperti Cleopatra yang menyerahkan tubuhnya kepada Mark Anthony, Mesir mengalami masa2 toto titi tentrem dibawah pengawalan legiun Romawi. Seperti Cleopatra, Sinto tergerak untuk mempunyai anak dengan Rahwono untuk lebih memperkokoh posisinya. Sinto akhirnya ngèngèr ke Alengko Dirojo. Witing tresno jalaran digawé dalangé ngono, kisah ini menjadi kisah kasih Rahwono-Sinto dan Romo-Lesmono, bukan ‘keagungan’ kasih Romo-Sinto.

Dalam versi aslinya, Sinto bersama Rahwono selama 14 tahun ! Masa sih, maharaja yang begitu digdoyo tidak bisa ngeloni Sinto ? Versi Wayang Jowo juga menceritakan bahwa Sinto & Rahwono punya anak, dalam lakon Dhosowilutomo.
Karena Romo dan Lesmono tak kunjung ada kabar beritanya, prabu Janoko akhirnya menikahkan putranya dengan Prabu Rahwono. Sinto diboyong ke Alengko Dirojo. Ketika melintas selat Srilangka, Prabu Dosomuko napak gegono (terbang). Sinto dipondongnya. Selama terbang Sinto pengin main bungee jumping. Dosomuko memenuhi permintaannya, Sinto dilambungkan keatas dan dibiarkan jatuh me-layang2 kebawah. Sinto men-jerit2 ketakutan. Begitu mendekat ditanah, disambarnya tubuh Sinto. Sinto sangat suka dengan bungee jumping ini, minta lagi. Begitu ber-ulang2 mereka main bungee jumping. Pakaian Sinto menjadi modhal madhul tidak karu2an. Rambutnya mosak masik. Salah satu cengkir gadingnya malah mecuat keluar dari sarangnya.

Dari kejauhan tampak setitik noktah hitam yang makin lama makin membesar. Ternyata seekor burung Garuda yang besarnya sak hoh hah. Barangkali sebesar Hercules. Bukan Hercules Tanah Abang. Itu mah, keciiiiil. Ia adalah Kiai Jatayu, salah seorang kawan swargi Prabu Dhosoroto. Burung Raksasa mampu terbang dengan kecepatan supersonic sambil mematuk lawannya. Cakarnya yang besar luar biasa tajamnya untuk mencabik cabik mangsanya.
Èèèèèèng ing èèèèèèèèèèèèng .........

Sepasang matanya yang tajam mencereng memperhatikan Rahwono dan Sinto yang sedang me-layang2 diudara. “ Wé lha dalah “ Kiai Jatayu membatin “ Itu Rahwonorojo, Raja penyamun “ sang burung sak hoh hah mendekat dan kaget “ Lho, lho, lho, ... itu Sinto, to ? Ini menantu kawanku, kenapa ia bersama dengan raja penyamun ? Kiai Jatayu me-nebak2

Episode-17
Jatayu Kamikaze
________________________________________
Sementara itu Sinto iseng, suaminya di ithik2 perutnya. Rahwono membalas, Sinto di ithik2 perutnya. Sinto me-ronta2 geli sambil men-jerit2 dan memukuli dada sang Raja. Terkadang dijambaknya rambut krembyah2 sang Raja. Rahwono balas iseng, dikecupmya cengkir gading yang keluar dari sarangnya. Mereka bergumul gumul.
Betapa kagetnya Kiai Jatayu melihat Sinto pakaiannya modhal madhul, men-jerit2, dan memukuli Rahwono. Darahnya naik ke-ubun2nya menyaksikan Rahwono ‘mimik’. “ Hey, hey, hey, king of the beast ! Tiba2 kiai Jatayu bisa membatin dalam bahasa Sunda. “ What the fuck are you doin ? “ Bulu2 dileher sang burung tiba2 meremang, matanya me-nyala2 dan dari hidungnya keluar asap. “ Who do you think you are ? Ini Kiai Jatayu, Jogoboyo Gegono, tak thothol (patuk) endhasmu modiar kowé. “ Sang burung ber-putar2 mendekat. Ia mencoba menyergap dari belakang. Cakar yang satu akan diarahkan ke leher Rahwono, cakar yang lain siap menangkap Sinto yang pasti terjatuh. Paruhnya siap nothol (mematuk) kepala Dosomuko yang ditelikung lehernya dengan cakarnya.

Jatayu toyoy ! Bagaimana ia mau menyergap dari belakang ? Namanya Dosomuko, artinya kepalanya sepuluh. Matanya berapa ? Duapuluh, koplo ! Bagaimana mungkin ia bisa mendekat tanpa ketahuan ?

Lha, rak tenan. Dosomuko bukan tidak tahu ada yang mengancam. Ia membatin, “ Ini ada burung klintar klinter. Burung kaliren, hèh ? Memangnya lu anggep apa, gue ? Lunch ? “ Dengan beringas Rahwono berkata dalam hati “ mau apa, kau ? “ Sembari tangannya mencengkeram pedang dipinggangnya. Seperti hiu membaui darah, Rahwono menjadi beringas. “ Lu jual, gue beli !“ Rahwono kemropok “ jadi ingkung, lu ! “ Sinto tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia tidak tahu bahwa ada makluk2 yang sedang pentheleng2an saling menantang tanpa kata2. Sedang ‘jual-beli’ nyawa.

Dengan kecepatan penuh Kia Jatayu menukik kearah Rahwono. Rahwono telah siap. Gladiator yang sudah lumuten dengan segala macam taktik perang membuat kejutan. Sinto dilambungkannya keatas, seolah sedang main bungee jumping. Tangannya yang bebas menghunus pedang. Kiai Jatayu kaget tidak menduga Sinto dilambungkan keatas. Posisi paruh dan cakar2nya jadi salah, konsentrasinya ambyar. Apalagi Sinto men-jerit2 ketakutan. Ia mengkhawatirkan Sinto dan pada detik yang sama harus mematuk Rahwono. Dengan ukuran badannya yang kelewat besar dan dalam kecepatan tinggi, sulit baginya untuk merubah posisi.
Peristiwanya hanya beberapa detik, dengan sigap Rahwono membalik badannya, dan bet !, ia menebang leher burung malang itu. Dengan pedang saktinya, sekali tebas leher Kiai Jatayu langsung kawir2. Begitu selesai Rahwono langsung menukik menangkap Sinto yang men-jerit2 masih mengira main Bungee Jumping. Sinto tidak sadar punggung suaminya gudras (berlumur) ludiro amblong kena cakar Kiai Jatayu.

Kiai Jatayu bagaikan menabrak angin. Tahu2 lehernya terpenggal dengan brutal dan ia kehilangan tenaganya karena nadinya terputus. Burung raksasa itupun terkulai me-layang2 diangkasa dan jatuh ndepani siti bantolo. Karena kesaktiannya, Kiai Jatayu tidak langsung mati. Ketika Romo melintas disitu, kiai Jatayu mengenali Romo. Dengan sekuat tenaga ia berupaya bicara tetapi karena lehernya nyaris putus, ucapannya tidak jelas“ Sinto, ... Sinto, ... wono rrrrrr, wono rrrrrrr, “ Kiai Jatayu tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Jatayu gugur. Kedua satria ini bertambah bingung dengan sepenggal kata Kiai Jatayu yang tidak jelas. Mereka me-nebak-2. Wono ? Wono adalah rimba. Rimba mana ? Amazon, Borneo, Alas Roban ? Wono mana ? Wonogiri, Wonosari, Wonokromo ? Wono R ? Apa ini ? Wonoro atau wanoro, barangkali ? Wanoro apa ? : munyuk, bedhès, lutung, siamang, kethèk, chimpanse, gorila, orang utan ? Apa hubungannya dengan kematian prajurit Dénowo tanpa identitas. Ada raseksi hidungnya grumpung ? Ada selendang Sinto ? Kedua pemuda itu makin bingung. Tetapi secercah harapan muncul, jika burung itu me-nyebut2 Sinto berarti Sinto masih hidup. Kedua sejoli itu kemudian meneruskan perjalanannya, berjalan, berjalan dan terus berjalan.

Di Alengko Sinto ditempatkan di Taman Asoka yang keindahannya melebihi taman kadewatan. Taman ini merupakan replika Rimba Dandoko, lengkap dengan binatang2 dan kembang2 kesayangannya. Sinto hidup mukti wibowo dengan dayang2 yang tak terhitung banyaknya. Salah satu emban tua menarik perhatiannya.
“ Mbok emban kowe siapa, wis sepuh begitu kok masih disini “
“ Saya mbok emban Kromoberdopo, gusti Dewi. Dulu saya yang momong Gusti Rahwono. “
“ mbok Kromo, mbok aku dicritani masa lalu dan asal usul Kanjeng prabu Rahwono “
“ Sendiko dhawuh, Gusti. Silahkan duduk yang nyaman, ceritanya agak panjang “
“ dulu kala, di pulau Srilangka ini banyak negara2 kecil, Gusti. Diantaranya Alengko dengan rajanya Prabu Somali. ...... “

Bersambung ke episode 18 : Bilahi Birahi di Girijembangan.

1 Comments:

Blogger denni said...

ki dalang, pundi lanjutanipun?

1:15 PM  

Post a Comment

<< Home